A.Pendahuluan
Kehadiran pekerjaan evaluasi di bidang pendidikan sebenarnya sudah
lama, dapat dikatakan kehadiran evaluasi bersamaan dengan kehadiran kegiatan
pendidikan. Ketika suatu proses pendidikan dilaksanakan oleh sekolah dan ketika
guru mengambil sebagian dari tugas orangtua dalam mendidik maka pada waktu itu pekerjaan evaluasi sudah hadir.
Dalam dunia pendidikan, istilah kurikulum adalah istilah yang
relatif baru dan istilah evaluasi kurikulum berkembang pada masa ketika istilah
kurikulum sudah digunakan dan baru dalam dunia pendidikan.Namun, seiring dengan
kemajuan zaman, evaluasi kurikulum dalam pendidikan mulai berkembang.Salah satu
perkembangannnya terlihat dengan munculnya model-model evaluasi kurikulum yang
berasal dari pemikiran para ahli di dunia.
B.
Pengertian Evaluasi Kurikulum
Evaluasi merupakan proses yang
menentukan kondisi di mana suatu tujuan telah dapat dicapai.[1] Evaluasi juga diartikan sebagai
kegiatan atau proses untuk menilai sesuatu.[2] Sedangkan menurut Marrison
evaluasi adalah perbuatan pertimbangan berdasarkan seperangkat kriteria yang disepakati dan dapat
dipertanggung jawabkan.[3]
Menurut pengertian bahasa kata
evaluasi berasal dari bahasa inggris“evaluation” yang berarti penilaian
atau penaksiran. Sedangkan menurut pengertian istilah evaluasi merupakan
kegiatan yang terencana untuk mengikuti keadaan sesuatu objek dengan
menggunakan instrumen dan hasilnya dibandingkan dengan tolak ukur untuk
memperoleh kesimpulan.[4] Evaluasi
bukan sekedar menilai suatu aktifitas secara spontan dan insidental, melainkan
merupakan kegiatan untuk menilai sesuatu secara terencana, sistematik dan
terarah berdasarkan atas tujuan yang jelas. Kegiatan evaluasi memerlukan
penggunaan informasi yang diperoleh melalui pengukuran maupun dengan cara lain
untuk menentukan pendapat dan membuat keputusan pendidikan.
Evaluasi merupakan tahap dalam
memberikan pertimbangan dan keputusan. Memberikan pertimbangan dan keputusan di
dalam evaluasi diistilahkan sebagai judgment. Worthen dkk mengatakan, “evaluation
uses inquiry and judgement methods including determining standars for judging
quality and deciding whether those standards should be relative or absolute”.[5]
Evaluasi menurut Print, sebagai kegiatan akhir dari proses pengukuran dan
penilaian sehingga diperoleh keputusan. “With the information gained from
measurement and assessment, educators are in a better position to make value
judgement which are invariably expressed as written comments”.[6]
Menurut Lopat, “evaluation is the overarching concept which both depends
upon measurements and assessment to make a composite judgment or decision”.[7]
Evaluasi menurut Lopat adalah pengambilan keputusan berdasarkan pengukuran
dan penilaian.
Evaluasi kurikulum terbagi menjadi
dua yaitu pertama: pendekatan tradisional (traditional evaluation)
yang berkonsentrasi kepada evaluasi proses belajar mengajar antara guru dan
murid, kedua: modern (new wave) lahir dari pengertian bahwa
kegiatan evaluasi tidak saja menilai hasil belajar, tetapi evaluasi juga harus
melihat keseluruhan proses pendidikan baik di dalam dan di luar kelas.[8]
Berdasarkan teori di atas diperoleh
pengertian bahwa evaluasi kurikulum adalah evaluasi terhadap seluruh aktivitas
pendidikan di sekolah seperti siswa, guru, model dan metode pengajaran,
administrasi, sarana dan prasarana.
C.Model-Model Evaluasi Kurikulum
Ada dua pendekatan pada model-model evaluasi kurikulum, pertama:
model positivistik-saintifik yang berdasarkan adanya eksperimen dan tes di
dalam pengumpulan datanya, yang kedua
naturalistik humanistik menitikberatkan
peran sisi manusiawi evaluator sebagai peneliti di mana peneliti merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari apa yang ditelitinya.
Dari dua model pendekatan ini, melahirkan dua model evaluasi
kurikulum yaitu pertama: berdasarkan pendekatan kuantitatif (positifistic-saintific)
terdiri dari beberapa model yaitu pertama: Model Blackbox Tyler, Countenance
Stake, Provus, Teoritik Taylor dan Maguire, Alkin dan Model CIPP
Stufflebeam dan kedua: pendekatan kualitatif (humanistic-naturalistic)
dengan model-model evaluasi kurikulum di antaranya Model Studi Kasus, Model Illuminatif,
Model Responsive, Model Eisner’s.
Model Evaluasi Pendekatan
Kuantitatif (positifistic-saintific)
1. Model Black Box
Model evaluasi
kurikulum Black Box diawali dari beberapa tulisan lepas dari Tyler
tentang pendidikan. Tyler mengajukan empat pertanyaan mendasar berkaitan dengan
kurikulum, pertama: tujuan belajar apa yang diinginkan dan diharapkan, kedua:
pengalaman belajar apa yang mungkin diperoleh untuk mencapai tujuan pendidikan,
ketiga: bagaimana cara mengorganisasi pengalaman belajar, dan keempat:
bagaimana kita mengetahui apakah tujuan belajar sudah tercapai. Keempat
komponen ini merupakan inti dari proses kurikulum yaitu: tujuan, konten, metode
dan evaluasi.[9]
Model Blackbox
Tyler dibangun dari asumsi yaitu kegiatan ditujukan untuk mengevaluasi
tingkah laku peserta didik. Evaluasi harus dilakukan pada tingkah laku awal
peserta didik sebelum suatu pelaksanaan kurikulum serta pada saat telah
melaksanakan kurikulum tersebut.[10]
Berdasarkan asumsi ini model BlackBox Tyler mensyaratkan adanya pretest
dan posttest untuk mengukur dan menilai siswa dalam proses belajar kurikulum
model ini, tujuan kurikulum menempati urutan pertama dari proses tersebut.
Dengan adanya tujuan kurikulum akan menentukan pengalaman belajar siswa yang
merupakan tahap kedua dari pelaksanaan kegiatan evaluasi. Adanya kesenjangan
antara tujuan kurikulum dan pengalaman belajar akan menyebabkan bias terhadap
evaluasi kurikulum. Untuk itu kedua komponen itu menjadi pondasi dalam
melanjutkan fase ketiga dari kegiatan kurikulum yaitu evaluasi. Pada tahap
evaluasi, pengumpulan data dilakukan oleh evaluator dengan cara membuat tes
baik berbentuk uraian atau objektif. Sedangkan non tes pada evaluasi digunakan
alat bukan tes seperti observasi, wawancara, skala likert, kuesioner dan
sebagainya.[11]
2. Model Countenance Stake
Evaluasi countenance merupakan
jenis evaluasi yang dianggap cukup memadai dalam menilai pembelajaran secara
kompleks. Model ini dikembangkan oleh Stake. Kata Countenance berasal
dari kata bahasa Inggris yang berarti menyetujui atau persetujuan. Sedangkan
secara istilah evaluasi countenance berarti evaluasi yang menekankan
pelaksanaan deskripsi dan pertimbangan. Kaitan arti dengan asal kata di atas
adalah pada pertimbangan yang diperoleh dari evaluator sehingga menimbulkan
keputusan atau persetujuan tentang suatu hal. Kegiatan evaluasi ini menekankan
kepada dua hal yaitu deskripsi dan pengamatan atau observasi.
Stake menekankan adanya dua dasar
kegiatan dalam evaluasi, yaitu description (deskripsi) dan judgement (pertimbangan),
serta membedakan adanya tiga tahap dalam program pendidikan, yaitu: (1) antecedent
(program pendahulu/masukan/context); (2) transaction (transaksi/kejadian/process);
dan (3) outcomes (hasil/result). Stake berpendapat menilai suatu program
pendidikan harus melakukan perbandingan yang relatif antara program satu dan
program yang lain, atau perbandingan yang absolut yaitu membandingkan suatu
program dengan standar tertentu.[12]
Adapun langkah-langkah yang harus
ditempuh dalam melaksanakan evaluasi countenance tercakup dalam empat
langkah pasti berdasarkan empat matriks yang ada yaitu:
a.
Sehubungan
dengan kategori intent, evaluator dapat melakukan studi dokumen atau wawancara
kepada pengembang program, baik berhubungan dengan antecedents
(persyaratan awal), transaksi (proses) serta hasil. Dalam hal pembelajaran
dapat dilakukan dengan mempersiapkan rencana yang dituangkan dalam silabus dan
RPP.
b.
Sehubungan
dengan kategori observasi, evaluator harus megadakan analisis kongruen, yaitu
menganalisa implementasi dari rencana pada intent. Apakah sesuai atau terjadi
penyimpangan, jika terjadi penyimpangan faktor-faktor apa yang menyebabkannya.
c.
Tugas
evaluator berikutnya adalah memberikan pertimbangan mengenai program yang
sedang dikaji, oleh karenanya perlu standar yang dapat diperoleh dari sekolah.
d.
Dan
yang terakhir adalah memberi pertimbangan terhadap hasil dari analisis ketiga
kategori sebelumnya. Pertimbangan dapat diperoleh dengan mengumpulkan data dari
sekelompok orang yang memiliki kualifikasi untuk memberikan pertimbangan. Dalam
pembelajaran pertimbangan dapat berdasarkan faktor karakteristik siswa, sarana
sekolah ataupun faktor-faktor yang lain.[13]
Kelebihan dan Kekurangan Evaluasi
Model Countenance yaitu:
Adapun beberapa manfaat yang dapat
diperoleh dari pelaksanaan evaluasi model countenance adalah:
a.
Memberikan
gambaran yang sangat detail terhadap suatu program, mulai dari konteks
awal hingga hasil yang dicapai.
b.
Lebih
komprehensif, lebih lengkap dalam menyaring informasi.
c.
Dengan
adanya pertimbangan terhadap standar, evaluasi tidak hanyamengukur
keterlaksanaan program sesuai rencana, akan tetapi juga dapat mengetahui
ketercapaian standar yang telah ditentukan.
d.
Dengan adanya pertimbangan dari sekelompok
orang yang berkualifikasi di bidangnya, evaluator dapat mengetahui
hambatan atau faktor-faktor yang mempengaruhi ketercapaian program.
Sedangkan beberapa kelemahan dari evaluasi model countenance
adalah:
a.
Terlalu
mementingkan dimana proses seharusnya dari pada kenyataan dilapangan.
b.
Cenderung
fokus pada rational management dari pada mengakui kompleksitas realiatas
empiris.
c.
Penerapan
dalam bidang pembelajaran dikelas mempunyai tingkat keterlaksanaan yang kurang
tinggi.
3. Model Discrepancy Provus
Sebagai salah
satu tokoh penelitian evaluasi, Malcolm Provus dikenal sebagai direktur
penelitian pada sekolah umum Pittsburg. Pandangannya tentang evaluasi disusun
dalam sebuah buku yang berjudul Discrepancy Evaluation. Provus
mengatakan dalam kegiatan evaluasi ada tiga kegiatan yang dilakukan, pertama:
menetapkan standar program, kedua: menentukan kesenjangan antara
aspek-aspek hasil program dan standar baku pendidikan yang ditetapkan
pemerintah, dan ketiga: dengan data dan kesenjangan yang didapat akan
ditentukan salah satu yang diganti; hasil atau kinerja atau standar program.
Evaluator
memulai evaluasi kurikulum tahap pertama dengan cara membandingkan antara
standar yang telah ditetapkan sebagai desain dari program. Kenyataan adalah “P”
atau performance dan “C” adalah standar yang ditetapkan. “D” merupakan
kesenjangan antara “P” dan “C”, dan pada tahap “D” akan terlihat dengan jelas
bagaimana bias atau kesenjangan antara kenyataan di lapangan dan standar yang
ditetapkan. Informasi adanya kesenjangan menjadi data untuk mengambil keputusan
apakah penelitian dilanjutkan pada tahap berikutnya. Pada tahap ini ada “M”
yang mengindikasikan apakah program tersebut akan dimodifikasi atau tidak.
Penelitian akan diulang kembali apabila program sudah dimodifikasi. Evaluasi
akan berakhir apabila program berada pada “T” yaitu terminated yang
diindikasikan bahwa program ditolak.[14]
4. Model CIPP Stufflebeam
Model
evaluasi Context, Input, Prosess dan Product (CIPP) diperkenalkan oleh
Daniel Stufflebeam. Tokoh evaluasi pendidikan ini dilahirkan di Waverly, Iowa
pada tanggal 19 September 1936. Mendapatkan gelar Master of Science dalam
bidang Konseling dan Psikologi dari Purdue University dan Gelar Philosophical
Doctor (Ph.D) dalam bidang Pengukuran dan Statistik dan Post Doctoral dalam
bidang Work Experimental Design and Statistic di University of
Wiscounsin.[15] Konsep yang ditawarkan
oleh Stufflebeam dengan pandangan bahwa tujuan penting evaluasi adalah bukan
membuktikan tetapi untuk memperbaiki.
CIPP
merupakan akronim yang terdiri dari : contexs evaluation, input evaluation,
process evaluation, product evaluatioan. Setiap tipe evaluasi terikat pada
perangkat pengambilan keputusan yang menyangkut perencanaan dan operasi sebuah
program.[16]
a.
Evaluasi
Konteks (Contexs evaluation)
Evaluasi
konteks merupakan evaluasi terhadap keadaan yang melingkupi proses
pembelajaran. keadaan yang termasuk konteks adalah yang berasal dari lingkungan
yaitu kondisi aktual dengan kondisi yang diharapkan.[17]Evaluasi
ini pun menggambarkan hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam perencanaan
program seperti karakteristik dan prilaku peserta didik, kurikulum, keunggulan
dan kelemahan tenaga pelaksana, sarana dan prasana, pendanaan dan komunitas.[18]
b.
Evaluasi
Input
Evaluasi input
menentukan alternatif pendekatan, pelaksanaan rencana kegiatan, penyediaan
sarana, penyediaan biaya efektif untuk penyiapan kebutuhan dan pencapaian
tujuan. Pengambil keputusan dalam evaluasi input di dalamnya memilih penyusunan
rencana, penulisan proposal, alokasi sumber daya, pengelolaan ketenagaan,
jadwal kegiatan tersusun rapi dalam membantu pengambil keputusan berusaha
menyiapkan rencana dan pembiayaan.
c.
Evaluasi
Produk/Hasil ( Product Evaluation)
Evaluasi produk
ini merupakan tahap terakhir yaitu evaluasi terhadap berhasil tidaknya peserta
mencapai tujuan yang telah ditetapkan.[19]
Evaluasi produk mengukur dan menginterpretasi pencapaian program selama
pelaksanaan program dan pada akhir program. Evaluasi produk melibatkan upaya
penetapan kriteria, melakukan pengukuran, membandingkan ukuran keberhasilan
dengan standar absolut atau relatif dan melakukan interpretasi rasional
tentang hasil dan pengaruh dengan
menggunakan data tentang konteks, input, dan proses.[20]
5. Model EPIC Robert L.
Hammond
Model Evaluation Program for Innovative Curriculum (selanjutnya
disebut model EPIC) dikembangkan oleh Robert L. Hammond. Tokoh evaluasi
pendidikan ini banyak menghabiskan waktunya di University of Arizona di
mana beliau menjadi Direktur Pusat Evaluasi Pendidikan Model EPIC. Dr. Hammond
sangat berpengaruh pada bidangnya dan seringkali mengadvokasi serta menjadi
konselor bagi guru dan pekerja lainnya yang terlibat di dalam pendidikan.
Hammond mengorganisir sebuah konsorsium di sekolah-sekolah kecil di wilayah Arizona,
meneliti efektifitas pendidikan di beberapa negara federal.[21]
Model evaluasi yang digagas Hammond terdiri dari lima langkah, pertama:
memilih dan mengisolasi bagian kurikulum yang akan dievaluasi, kedua:
mendefinisikan variabel-variabel deskriptif (semua variabel yang berkaitan
dengan sekolah dan tujuannya), ketiga: menetapkan hasil belajar yang
diinginkan, keempat: menilai hasil belajar, dan kelima: analisis
hasil dengan membuat kesimpulan terhadap suatu program.Hammond membuat kubus
yang berisi tiga komponen beberapa aspek. Komponen pertama yaitu: instructional
dimension (dimensi pengajaran, Komponen kedua yaitu: institutional
dimension (dimensi institusi), Komponen ketiga yaitu behavioral
dimension (komponen hasil belajar).[22]
6.
Model Teoritik Taylor dan Maguire
Dalam melakukan model ini, ada dua kegiatan utama yang harus
dilakukan oleh evaluator.Pertama, pengumpulan data objektif yang dihasilkan
dari berbagai sumber mengenai komponen tujuan, lingkungan, personalia, metode
dan konten, serta hasil belajar langsung maupun hasil belajar jangka panjang. Data
tersebut dikatakan data objektif karena berasal dari luar pertimbangan
evaluator.Kedua, pengumpulan data yang merupakan hasil pertimbangan individual
terutama mengenai kualitas tujuan, masukan, dan hasil belajar. Unsur-unsur ini
dimasukkan dalam suatu diagram yang terdiri atas empat matrik, yaitu matriks
tujuan, penafsiran, strategi, dan hasil belajar. Pada tingkat perkembangan ini,
evaluator tidak hanya melihat hasil belajar yang bersifat langsung. Evaluator
harus pula melihat apakah hasil belajar yang telah diperoleh itu dapat
digunakan di lingkungan lain selain satuan pendidikan tersebut.
7. Model Pendekatan Sistem Alkin
Pemahaman model Alkin dan penerapannya memerlukan pengertian yang
benar mengenai setiap komponen yang ada dalam model. Sistem luar adalah sistem
yang mempengaruhi sistem dalam maupun sebagai sistem yang dipengaruhi oleh
keluaran sistem internal. Faktor masukan terdiri atas komponen masukan peserta
didik dan masukan keuangan, dan keduanya adalah masukan penting yang
berpengaruh terhadap proses atau faktor perantara. Faktor perantara adalah
faktor yang menggambarkan terjadinya suatu proses interaksi dari berbagai
komponen pada faktor masukan. Tentu saja proses interaksi ini sangat menentukan
hasil belajar atau faktor keluaran. Keluaran sistem terdiri atas keluaran
peserta didik.
b. Model
Evaluasi Pendekatan Kualitatif (Humanistik-Naturalistik)
1 Model
Evaluasi Connoisseurship
Model
evaluasi kurikulum ini dikembangkan oleh Elliot W.Eisner dan kemudian dinamakan
model evaluasi connoisseurship. Elliot W. Eisner dilahirkan pada 1933
dan dibesarkan di Chicago. Ia mendapatkan gelar Magister of Science bidang
Art Education dari Illinois Institut Technology dan Master of
Arts bidang pendidikan seni dari University of Chicago dan Ph.D
dalam bidang pendidikan pada universitas yang sama.
Ciri khas dari model ini, sebagai model
penelitian dengan pendekatan humanistik-naturalistik, evaluan berpartisipasi
langsung sebagai pengamat pada proses penelitiannya. Evaluan secara seksama dan
teliti menganalisa pola kerja siswa dan guru. Ciri lainnya pada model ini
adalah penggunaan teknologi sebagai media di dalam penelitiannya seperti
penggunaan film, videotape, kamera dan audiotape.
Walaupun model ini belum memiliki struktur
penelitian yang baku, akan tetapi model penelitian ini memiliki tiga tahap: Tahap
pertama disebut tahap deskriptif yaitu mendeskripsikan seluruh pola
pembelajaran dan aktivitas di dalam kelas, tahap kedua yaitu
interpretasi di mana evaluan mulai menginterpretasi dan mengkritisi pada yang
terjadi pada tahap pertama. Penjelasan pada tahapan ini akan menimbulkan aksi,
reaksi dan interaksi pada apa yang diamati dan tahap ketiga adalah tahap
evaluasi di mana pada tahap ini evaluan akan memberikan pertimbangan dan
keputusan dari program tersebut. Pertimbangan dan keputusan yang dibuat oleh
evaluan didasarkan kepada kritik yang dibuat oleh evaluan sendiri berdasarkan
data yang diperoleh pada tahap pertama dan kedua.[23]
2. Model
Illuminative
Model ini pada awalnya diperkenalkan oleh
Hanley pada 1969, namun dikembangkan lebih lanjut oleh Parlett dan Hamilton
pada tulisan mereka yang berjudul Evaluation as illumination: a new approach
to study of innovatory programs. Pada akhirnya kedua tokoh ini dikenal
sebagai tokoh evaluasi yang melahirkan model illuminatif. Banyak tokoh evaluasi
lainnya yang merujuk kepada Parlett dan Hamilton ketika menggunakan model ini
di antaranya Stenhouse dan Scrimshaw.[24]
Ada tiga tahapan dan metode dalam mengumpulkan
data dengan menggunakan model illuminative yaitu:
1. Observasi; pada tahap ini evaluan mengobservasi
keseluruhan program pendidikan di antaranya tujuan sekolah, metode dalam
belajar mengajar, materi yang digunakan, dan teknik evaluasi yang dilakukan
guru.
2. Inkuiri; pada tahap ini evaluan akan memisahkan
data penting dan yang tidak penting untuk dianalisa. Pada tahap ini pula
evaluan tidak hanya “mengetahui” program itu berjalan tetapi mengapa program
itu dapat berjalan. Untuk mencari jawaban tersebut evaluan harus menghabiskan
waktunya di lapangan untuk meneliti.
3. Ekspalanasi; pada tahap ini evaluan tidak saja
memberikan pertimbangan dan keputusan pada hasil penelitiannya, tetapi
memperkaya data tersebut dengan cara menjelaskan apa yang terjadi dan mengapa
itu bisa terjadi.[25]
3. Model Responsive Stake
Model
kedua yang dikembangkan oleh Stake untuk mengevaluasi kurikulum adalah model responsive.
Model ini merupakan pengembangan lebih lanjut model countenance Stake, meskipun
beberapa hal terdapat perbedaan yang prinsipil. Pertama, model countenance
mempunyai fokus yang lebih luas dibanding model responsive. Model countenance
memberikan perhatian terhadap kurikulum sebagai suatu rencana, dalam model
responsive, fokus yang demikian sudah ditinggalkan. Perbedaan kedua ialah dalam
pendekatan pengembangan kriteria. Model countenance berdasarkan pengembangan
kriteriafidelity, model responsive mengembangkan kriterianya berdasarkan
pendekatan proses.
Model
responsive tidak berbicara tentang pemakaian instrumen standar, tetapi
memberikan perhatian yang besar interaksi antara evaluator dengan pelaksana
kurikulum. Tanpa interaksi tidak satupun “isu” yang dapat
diungkapkan. Langkah-langkah kegiatan evaluasi ini meliputi, observasi, merekam
hasil wawancara, mengumpulkan data, mengecek pengetahuan awal peserta didik,
dan mengembangkan desain atau model.
4. Model Studi Kasus
Model
ini memusatkan perhatiannya kepada kegiatan pengembangan kurikulum di satu
satuan pendidikan.Unit tersebut dapat saja berupa satu sekolah, satu kelas
bahkan hanya seorang guru atau kepala sekolah.Karakteristik model ini adalah
data yang dikumpulkan terutama adalah data kualitatif. Data kualitatif kaya dengan
deksripsi dan dianggap lebih memberikan makna dibandingkan data kuantitatif.
Data kualitatif dianggap lebih dapat mengungkapkan apa yang terjadi di
lapangan. Proses yang direkam tidak dinyatakan dengan angka tetapi dengan
ungkapan menggambarkan peristiwa-peristiwa dalam proses sebagai suatu rangkaian
berkesinambungan.
Menggunakan model evaluasi studi kasus, tindakan pertama yang harus
dilakukan evaluator adalah familirialisasi dirinya terhadap kurikulum yang
dikaji. Apabila evaluator belum familiar dengan kurikulum dan satuan pendidikan
yang mengembangkannya maka evaluator ini dilarang melakukan evaluasi.Familirialisasi
ada dua jenis, pertama familiriaslisasi terhadap kurikulum sebagai ide dan
sebagai rencana. Familiarialisasi kedua dilakukan ketika evaluator
dilapangan. Evaluator harus menguasai kebiasaan-kebiasaan dalam satuan
pendidikan yang dievaluasi.[26]
KESIMPULAN
Definisi evaluasi memiliki pengertian yang berbeda dengan
pengukuran dan penilaian. Pengukuran berkaitan dengan angka atau kuantitatif,
sedangkan penilaian bersifat kualitatif. Evaluasi adalah kegiatan yang
sistematis yang mencakup pengukuran dan penilaian. Evaluasi merupakan tahapan
akhir dari penilaian dan pengukuran dan di dalamnya memiliki unsur pertimbangan
dan keputusan terhadap suatu program berdasarkan standar atau kriteria yang
telah ditetapkan sebelum program tersebut berjalan. Evaluasi kurikulum merupakan
kegiatan untuk memberikan pertimbangan dan keputusan terhadap seluruh aktivitas
pendidikan di sekolah seperti siswa, guru, model dan metode pengajaran,
administrasi, sarana dan prasarana.
Ada dua pendekatan evaluasi kurikulum yaitu pendekatan kualitatif
dan kuantitatif. Model kuantitatif memiliki ciri khas di mana pengumpulan data
dengan menggunakan metodologi kuantitatif dan tes sebagai alat pengumpul data.
Pendekatan kuantitatif dan tes merupakan pendekatan umum positivistik.
Sedangkan model kualitatif yang berangkat dari filsafat fenomenologi memiliki
ciri khas yaitu dengan evaluator sebagai instrumen penting dan utama di dalam
penelitian.
Daftar Pustaka
Arikunto, Suharsimi dan Cepi Safruddin Abdul Jabar, Evaluasi
Program Pendidikan, Jakarta: Bumi Aksara, 2004.
Blaine R. Worthen, James R. Sanders, dan Jody L. Fitzpatrick, Program
Evaluation: Alternative Approaches and Practical Guidelines, New York:
Longman, 1987.
Hamalik, Oemar. Pengembangan
Kurikulum, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007.
Munir, Kurikulum Berbasis Tekhnologi Informasi dan Komunikasi,Bandung:
Alfabeta,2008.
Print,
Murray. Curriculum Development and Design, Sidney: Allen & Unwin,
1993.
Sudijono, Anas. Pengantar Evaluasi
Pendidikan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003.
Sudjana, Djudju. Evaluasi Program Pendidikan Luar Sekolah,
Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006.
Sukardi, M. Evaluasi
Pendidikan: Prinsip dan Operasionalnya, Jakarta: Bumi Aksara, 2008.
Terence J. Lovat dan David L. Smith, Curriculum: Action on
Reflection (Wentworth Falls: Social Science Press, 1993.
Toha, Chabib. Tekhnik Evaluasi Pendidikan, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2003.
Widoyoko, S. Eko Putra. Evaluasi Program Pembelajaran,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011.
Wirawan, Evaluasi: Teori, Model, Standar, Aplikasi, dan Profesi (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2011.
Yusuf
Tayibnapis, Farida. Evaluasi Program, Jakarta: Rineka Cipta, 2000.
[1] M. Sukardi, Evaluasi
Pendidikan: Prinsip dan Operasionalnya, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008) ,h. 1
[4] Chabib Toha, Tekhnik
Evaluasi Pendidikan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), 1
[5] Blaine R.
Worthen, James R. Sanders, dan Jody L. Fitzpatrick, Program Evaluation:
Alternative Approaches and Practical Guidelines (New York: Longman, 1987),
h. 5.
[6] Murray Print, Curriculum
Development and Design (Sidney: Allen & Unwin, 1993), h. 196.
[7] Terence J.
Lovat dan David L. Smith, Curriculum: Action on Reflection (Wentworth
Falls: Social Science Press, 1993), h. 160
[8] Fajri Ismail, Model-Model
Evaluasi Kurikulum, (Bandung:
Lentera, 2014), Vol 2, h. 4.
[9] Fajri Ismail, Model-Model
Evaluasi Kurikulum, h. 7
[10]S. Hamid
Hassan, Evaluasi Kurikulum (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012), h. 188.
[11] Fajri Ismail, Model-Model
Evaluasi Kurikulum, h. 8.
[12]Farida Yusuf
Tayibnapis, Evaluasi Program, Evaluasi Program, (Jakarta: Rineka
Cipta, 2000),h. 19.
[13]S. Eko Putra
Widoyoko, Evaluasi Program Pembelajaran, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2011),
h. 212.
[14] Fajri Ismail, Model-Model
Evaluasi Kurikulum, h. 8.
[15] Wirawan, Evaluasi:
Teori, Model, Standar, Aplikasi, dan Profesi (Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2011), h.93.
[16] Suharsimi
Arikunto dan Cepi Safruddin Abdul Jabar, Evaluasi Program Pendidikan,
(Jakarta: Bumi Aksara, 2004), 29.
[17]FaridaYusufTayibnapis,EvaluasiProgram,h. 14.
[18]Djudju Sudjana,
Evaluasi Program Pendidikan Luar Sekolah, (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2006), h. 55.
[19]Munir,
Kurikulum Berbasis Tekhnologi Informasi dan Komunikasi,(Bandung: Alfabeta,2008),
h.108
[20]Djudju Sudjana,
Evaluasi Program Pendidikan Luar Sekolah , h. 56.
[21] Fajri Ismail, Model-Model
Evaluasi Kurikulum, h. 11
[22]
Fajri Ismail, Model-Model
Evaluasi Kurikulum, h. 11
[23]
Fajri Ismail, Model-Model
Evaluasi Kurikulum, h. 11
[24]
Hamid Hassan, Evaluasi
Kurikulum , h. 233.
[25]
Fajri Ismail, Model-Model
Evaluasi Kurikulum, h. 13.
[26]
Hamid
Hasan, Evaluasi Kurikulum h. 228-229.
Tulisan yang bagus, mohon ijin copy tulisan ini ya, karena saat ini sy lagi mengevaluasi kurikulum terima kasih
BalasHapus