Selasa, 27 Desember 2016

Model-model Evaluasi Kurikulum

A.Pendahuluan
Kehadiran pekerjaan evaluasi di bidang pendidikan sebenarnya sudah lama, dapat dikatakan kehadiran evaluasi bersamaan dengan kehadiran kegiatan pendidikan. Ketika suatu proses pendidikan dilaksanakan oleh sekolah dan ketika guru mengambil sebagian dari tugas orangtua dalam  mendidik maka pada waktu  itu pekerjaan evaluasi sudah hadir.
Dalam dunia pendidikan, istilah kurikulum adalah istilah yang relatif baru dan istilah evaluasi kurikulum berkembang pada masa ketika istilah kurikulum sudah digunakan dan baru dalam dunia pendidikan.Namun, seiring dengan kemajuan zaman, evaluasi kurikulum dalam pendidikan mulai berkembang.Salah satu perkembangannnya terlihat dengan munculnya model-model evaluasi kurikulum yang berasal dari pemikiran para ahli di dunia.



B. Pengertian Evaluasi Kurikulum
Evaluasi merupakan proses yang menentukan kondisi di mana suatu tujuan telah dapat dicapai.[1] Evaluasi juga diartikan sebagai kegiatan atau proses untuk menilai sesuatu.[2] Sedangkan menurut Marrison evaluasi adalah perbuatan pertimbangan berdasarkan seperangkat kriteria yang disepakati dan dapat dipertanggung jawabkan.[3]
Menurut pengertian bahasa kata evaluasi berasal dari bahasa inggris“evaluation” yang berarti penilaian atau penaksiran. Sedangkan menurut pengertian istilah evaluasi merupakan kegiatan yang terencana untuk mengikuti keadaan sesuatu objek dengan menggunakan instrumen dan hasilnya dibandingkan dengan tolak ukur untuk memperoleh kesimpulan.[4] Evaluasi bukan sekedar menilai suatu aktifitas secara spontan dan insidental, melainkan merupakan kegiatan untuk menilai sesuatu secara terencana, sistematik dan terarah berdasarkan atas tujuan yang jelas. Kegiatan evaluasi memerlukan penggunaan informasi yang diperoleh melalui pengukuran maupun dengan cara lain untuk menentukan pendapat dan membuat keputusan pendidikan.
Evaluasi merupakan tahap dalam memberikan pertimbangan dan keputusan. Memberikan pertimbangan dan keputusan di dalam evaluasi diistilahkan sebagai judgment. Worthen dkk mengatakan, “evaluation uses inquiry and judgement methods including determining standars for judging quality and deciding whether those standards should be relative or absolute”.[5] Evaluasi menurut Print, sebagai kegiatan akhir dari proses pengukuran dan penilaian sehingga diperoleh keputusan. “With the information gained from measurement and assessment, educators are in a better position to make value judgement which are invariably expressed as written comments”.[6] Menurut Lopat, “evaluation is the overarching concept which both depends upon measurements and assessment to make a composite judgment or decision”.[7] Evaluasi menurut Lopat adalah pengambilan keputusan berdasarkan pengukuran dan penilaian.
Evaluasi kurikulum terbagi menjadi dua yaitu pertama: pendekatan tradisional (traditional evaluation) yang berkonsentrasi kepada evaluasi proses belajar mengajar antara guru dan murid, kedua: modern (new wave) lahir dari pengertian bahwa kegiatan evaluasi tidak saja menilai hasil belajar, tetapi evaluasi juga harus melihat keseluruhan proses pendidikan baik di dalam dan di luar kelas.[8]
Berdasarkan teori di atas diperoleh pengertian bahwa evaluasi kurikulum adalah evaluasi terhadap seluruh aktivitas pendidikan di sekolah seperti siswa, guru, model dan metode pengajaran, administrasi, sarana dan prasarana.
C.Model-Model Evaluasi Kurikulum
Ada dua pendekatan pada model-model evaluasi kurikulum, pertama: model positivistik-saintifik yang berdasarkan adanya eksperimen dan tes di dalam pengumpulan datanya, yang  kedua  naturalistik humanistik menitikberatkan peran sisi manusiawi evaluator sebagai peneliti di mana peneliti merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari apa yang ditelitinya.
Dari dua model pendekatan ini, melahirkan dua model evaluasi kurikulum yaitu pertama: berdasarkan pendekatan kuantitatif (positifistic-saintific) terdiri dari beberapa model yaitu pertama: Model Blackbox Tyler, Countenance Stake, Provus, Teoritik Taylor dan Maguire, Alkin dan Model CIPP Stufflebeam dan kedua: pendekatan kualitatif (humanistic-naturalistic) dengan model-model evaluasi kurikulum di antaranya Model Studi Kasus, Model Illuminatif, Model Responsive, Model Eisner’s.
Model  Evaluasi Pendekatan Kuantitatif (positifistic-saintific)
1.     Model Black Box
Model evaluasi kurikulum Black Box diawali dari beberapa tulisan lepas dari Tyler tentang pendidikan. Tyler mengajukan empat pertanyaan mendasar berkaitan dengan kurikulum, pertama: tujuan belajar apa yang diinginkan dan diharapkan, kedua: pengalaman belajar apa yang mungkin diperoleh untuk mencapai tujuan pendidikan, ketiga: bagaimana cara mengorganisasi pengalaman belajar, dan keempat: bagaimana kita mengetahui apakah tujuan belajar sudah tercapai. Keempat komponen ini merupakan inti dari proses kurikulum yaitu: tujuan, konten, metode dan evaluasi.[9]
Model Blackbox Tyler dibangun dari asumsi yaitu kegiatan ditujukan untuk mengevaluasi tingkah laku peserta didik. Evaluasi harus dilakukan pada tingkah laku awal peserta didik sebelum suatu pelaksanaan kurikulum serta pada saat telah melaksanakan kurikulum tersebut.[10] Berdasarkan asumsi ini model BlackBox Tyler mensyaratkan adanya pretest dan posttest untuk mengukur dan menilai siswa dalam proses belajar kurikulum model ini, tujuan kurikulum menempati urutan pertama dari proses tersebut. Dengan adanya tujuan kurikulum akan menentukan pengalaman belajar siswa yang merupakan tahap kedua dari pelaksanaan kegiatan evaluasi. Adanya kesenjangan antara tujuan kurikulum dan pengalaman belajar akan menyebabkan bias terhadap evaluasi kurikulum. Untuk itu kedua komponen itu menjadi pondasi dalam melanjutkan fase ketiga dari kegiatan kurikulum yaitu evaluasi. Pada tahap evaluasi, pengumpulan data dilakukan oleh evaluator dengan cara membuat tes baik berbentuk uraian atau objektif. Sedangkan non tes pada evaluasi digunakan alat bukan tes seperti observasi, wawancara, skala likert, kuesioner dan sebagainya.[11]

2.    Model Countenance Stake
Evaluasi countenance merupakan jenis evaluasi yang dianggap cukup memadai dalam menilai pembelajaran secara kompleks. Model ini dikembangkan oleh Stake. Kata Countenance berasal dari kata bahasa Inggris yang berarti menyetujui atau persetujuan. Sedangkan secara istilah evaluasi countenance berarti evaluasi yang menekankan pelaksanaan deskripsi dan pertimbangan. Kaitan arti dengan asal kata di atas adalah pada pertimbangan yang diperoleh dari evaluator sehingga menimbulkan keputusan atau persetujuan tentang suatu hal. Kegiatan evaluasi ini menekankan kepada dua hal yaitu deskripsi dan pengamatan atau observasi.
Stake menekankan adanya dua dasar kegiatan dalam evaluasi, yaitu description (deskripsi) dan judgement (pertimbangan), serta membedakan adanya tiga tahap dalam program pendidikan, yaitu: (1) antecedent (program pendahulu/masukan/context); (2) transaction (transaksi/kejadian/process); dan (3) outcomes (hasil/result). Stake berpendapat menilai suatu program pendidikan harus melakukan perbandingan yang relatif antara program satu dan program yang lain, atau perbandingan yang absolut yaitu membandingkan suatu program dengan standar tertentu.[12]
Adapun langkah-langkah yang harus ditempuh dalam melaksanakan evaluasi countenance tercakup dalam empat langkah pasti berdasarkan empat matriks yang ada yaitu:
a.    Sehubungan dengan kategori intent, evaluator dapat melakukan studi dokumen atau wawancara kepada pengembang program, baik berhubungan dengan antecedents (persyaratan awal), transaksi (proses) serta hasil. Dalam hal pembelajaran dapat dilakukan dengan mempersiapkan rencana yang dituangkan dalam silabus dan RPP.
b.    Sehubungan dengan kategori observasi, evaluator harus megadakan analisis kongruen, yaitu menganalisa implementasi dari rencana pada intent. Apakah sesuai atau terjadi penyimpangan, jika terjadi penyimpangan faktor-faktor apa yang menyebabkannya.
c.    Tugas evaluator berikutnya adalah memberikan pertimbangan mengenai program yang sedang dikaji, oleh karenanya perlu standar yang dapat diperoleh dari sekolah.
d.   Dan yang terakhir adalah memberi pertimbangan terhadap hasil dari analisis ketiga kategori sebelumnya. Pertimbangan dapat diperoleh dengan mengumpulkan data dari sekelompok orang yang memiliki kualifikasi untuk memberikan pertimbangan. Dalam pembelajaran pertimbangan dapat berdasarkan faktor karakteristik siswa, sarana sekolah ataupun faktor-faktor yang lain.[13]
Kelebihan dan Kekurangan Evaluasi Model Countenance yaitu:
Adapun beberapa manfaat yang dapat diperoleh dari pelaksanaan evaluasi model countenance adalah:
a.    Memberikan gambaran yang sangat detail terhadap suatu program, mulai dari konteks awal hingga hasil yang dicapai.
b.    Lebih komprehensif, lebih lengkap dalam menyaring informasi.
c.    Dengan adanya pertimbangan terhadap standar, evaluasi tidak hanyamengukur keterlaksanaan program sesuai rencana, akan tetapi juga dapat mengetahui ketercapaian standar yang telah ditentukan.
d.    Dengan adanya pertimbangan dari sekelompok orang yang berkualifikasi di bidangnya, evaluator dapat mengetahui hambatan atau faktor-faktor yang mempengaruhi ketercapaian program.
Sedangkan beberapa kelemahan dari evaluasi model countenance adalah:
a.    Terlalu mementingkan dimana proses seharusnya dari pada kenyataan dilapangan.
b.    Cenderung fokus pada rational management dari pada mengakui kompleksitas realiatas empiris.
c.    Penerapan dalam bidang pembelajaran dikelas mempunyai tingkat keterlaksanaan yang kurang tinggi.

3.    Model Discrepancy Provus
Sebagai salah satu tokoh penelitian evaluasi, Malcolm Provus dikenal sebagai direktur penelitian pada sekolah umum Pittsburg. Pandangannya tentang evaluasi disusun dalam sebuah buku yang berjudul Discrepancy Evaluation. Provus mengatakan dalam kegiatan evaluasi ada tiga kegiatan yang dilakukan, pertama: menetapkan standar program, kedua: menentukan kesenjangan antara aspek-aspek hasil program dan standar baku pendidikan yang ditetapkan pemerintah, dan ketiga: dengan data dan kesenjangan yang didapat akan ditentukan salah satu yang diganti; hasil atau kinerja atau standar program.
Evaluator memulai evaluasi kurikulum tahap pertama dengan cara membandingkan antara standar yang telah ditetapkan sebagai desain dari program. Kenyataan adalah “P” atau performance dan “C” adalah standar yang ditetapkan. “D” merupakan kesenjangan antara “P” dan “C”, dan pada tahap “D” akan terlihat dengan jelas bagaimana bias atau kesenjangan antara kenyataan di lapangan dan standar yang ditetapkan. Informasi adanya kesenjangan menjadi data untuk mengambil keputusan apakah penelitian dilanjutkan pada tahap berikutnya. Pada tahap ini ada “M” yang mengindikasikan apakah program tersebut akan dimodifikasi atau tidak. Penelitian akan diulang kembali apabila program sudah dimodifikasi. Evaluasi akan berakhir apabila program berada pada “T” yaitu terminated yang diindikasikan bahwa program ditolak.[14]

4.    Model CIPP Stufflebeam
Model evaluasi Context, Input, Prosess dan Product (CIPP) diperkenalkan oleh Daniel Stufflebeam. Tokoh evaluasi pendidikan ini dilahirkan di Waverly, Iowa pada tanggal 19 September 1936. Mendapatkan gelar Master of Science dalam bidang Konseling dan Psikologi dari Purdue University dan Gelar Philosophical Doctor (Ph.D) dalam bidang Pengukuran dan Statistik dan Post Doctoral dalam bidang Work Experimental Design and Statistic di University of Wiscounsin.[15] Konsep yang ditawarkan oleh Stufflebeam dengan pandangan bahwa tujuan penting evaluasi adalah bukan membuktikan tetapi untuk memperbaiki.
CIPP merupakan akronim yang terdiri dari : contexs evaluation, input evaluation, process evaluation, product evaluatioan. Setiap tipe evaluasi terikat pada perangkat pengambilan keputusan yang menyangkut perencanaan dan operasi sebuah program.[16]
a.    Evaluasi Konteks (Contexs evaluation)
Evaluasi konteks merupakan evaluasi terhadap keadaan yang melingkupi proses pembelajaran. keadaan yang termasuk konteks adalah yang berasal dari lingkungan yaitu kondisi aktual dengan kondisi yang diharapkan.[17]Evaluasi ini pun menggambarkan hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam perencanaan program seperti karakteristik dan prilaku peserta didik, kurikulum, keunggulan dan kelemahan tenaga pelaksana, sarana dan prasana, pendanaan dan komunitas.[18]
b.    Evaluasi Input
Evaluasi input menentukan alternatif pendekatan, pelaksanaan rencana kegiatan, penyediaan sarana, penyediaan biaya efektif untuk penyiapan kebutuhan dan pencapaian tujuan. Pengambil keputusan dalam evaluasi input di dalamnya memilih penyusunan rencana, penulisan proposal, alokasi sumber daya, pengelolaan ketenagaan, jadwal kegiatan tersusun rapi dalam membantu pengambil keputusan berusaha menyiapkan rencana dan pembiayaan.
c.    Evaluasi Produk/Hasil ( Product Evaluation)
Evaluasi produk ini merupakan tahap terakhir yaitu evaluasi terhadap berhasil tidaknya peserta mencapai tujuan yang telah ditetapkan.[19] Evaluasi produk mengukur dan menginterpretasi pencapaian program selama pelaksanaan program dan pada akhir program. Evaluasi produk melibatkan upaya penetapan kriteria, melakukan pengukuran, membandingkan ukuran keberhasilan dengan standar absolut atau relatif dan melakukan interpretasi rasional tentang  hasil dan pengaruh dengan menggunakan data tentang konteks, input, dan proses.[20]
5.    Model EPIC Robert L. Hammond
Model Evaluation Program for Innovative Curriculum (selanjutnya disebut model EPIC) dikembangkan oleh Robert L. Hammond. Tokoh evaluasi pendidikan ini banyak menghabiskan waktunya di University of Arizona di mana beliau menjadi Direktur Pusat Evaluasi Pendidikan Model EPIC. Dr. Hammond sangat berpengaruh pada bidangnya dan seringkali mengadvokasi serta menjadi konselor bagi guru dan pekerja lainnya yang terlibat di dalam pendidikan. Hammond mengorganisir sebuah konsorsium di sekolah-sekolah kecil di wilayah Arizona, meneliti efektifitas pendidikan di beberapa negara federal.[21]
Model evaluasi yang digagas Hammond terdiri dari lima langkah, pertama: memilih dan mengisolasi bagian kurikulum yang akan dievaluasi, kedua: mendefinisikan variabel-variabel deskriptif (semua variabel yang berkaitan dengan sekolah dan tujuannya), ketiga: menetapkan hasil belajar yang diinginkan, keempat: menilai hasil belajar, dan kelima: analisis hasil dengan membuat kesimpulan terhadap suatu program.Hammond membuat kubus yang berisi tiga komponen beberapa aspek. Komponen pertama yaitu: instructional dimension (dimensi pengajaran, Komponen kedua yaitu: institutional dimension (dimensi institusi), Komponen ketiga yaitu behavioral dimension (komponen hasil belajar).[22]
6.    Model Teoritik Taylor dan Maguire
Dalam melakukan model ini, ada dua kegiatan utama yang harus dilakukan oleh evaluator.Pertama, pengumpulan data objektif yang dihasilkan dari berbagai sumber mengenai komponen tujuan, lingkungan, personalia, metode dan konten, serta hasil belajar langsung maupun hasil belajar jangka panjang. Data tersebut dikatakan data objektif karena berasal dari luar pertimbangan evaluator.Kedua, pengumpulan data yang merupakan hasil pertimbangan individual terutama mengenai kualitas tujuan, masukan, dan hasil belajar. Unsur-unsur ini dimasukkan dalam suatu diagram yang terdiri atas empat matrik, yaitu matriks tujuan, penafsiran, strategi, dan hasil belajar. Pada tingkat perkembangan ini, evaluator tidak hanya melihat hasil belajar yang bersifat langsung. Evaluator harus pula melihat apakah hasil belajar yang telah diperoleh itu dapat digunakan di lingkungan lain selain satuan pendidikan tersebut.
7.    Model Pendekatan Sistem Alkin
Pemahaman model Alkin dan penerapannya memerlukan pengertian yang benar mengenai setiap komponen yang ada dalam model. Sistem luar adalah sistem yang mempengaruhi sistem dalam maupun sebagai sistem yang dipengaruhi oleh keluaran sistem internal. Faktor masukan terdiri atas komponen masukan peserta didik dan masukan keuangan, dan keduanya adalah masukan penting yang berpengaruh terhadap proses atau faktor perantara. Faktor perantara adalah faktor yang menggambarkan terjadinya suatu proses interaksi dari berbagai komponen pada faktor masukan. Tentu saja proses interaksi ini sangat menentukan hasil belajar atau faktor keluaran. Keluaran sistem terdiri atas keluaran peserta didik.
b. Model Evaluasi Pendekatan Kualitatif (Humanistik-Naturalistik)
1 Model Evaluasi Connoisseurship
Model evaluasi kurikulum ini dikembangkan oleh Elliot W.Eisner dan kemudian dinamakan model evaluasi connoisseurship. Elliot W. Eisner dilahirkan pada 1933 dan dibesarkan di Chicago. Ia mendapatkan gelar Magister of Science bidang Art Education dari Illinois Institut Technology dan Master of Arts bidang pendidikan seni dari University of Chicago dan Ph.D dalam bidang pendidikan pada universitas yang sama.
Ciri khas dari model ini, sebagai model penelitian dengan pendekatan humanistik-naturalistik, evaluan berpartisipasi langsung sebagai pengamat pada proses penelitiannya. Evaluan secara seksama dan teliti menganalisa pola kerja siswa dan guru. Ciri lainnya pada model ini adalah penggunaan teknologi sebagai media di dalam penelitiannya seperti penggunaan film, videotape, kamera dan audiotape.
Walaupun model ini belum memiliki struktur penelitian yang baku, akan tetapi model penelitian ini memiliki tiga tahap: Tahap pertama disebut tahap deskriptif yaitu mendeskripsikan seluruh pola pembelajaran dan aktivitas di dalam kelas, tahap kedua yaitu interpretasi di mana evaluan mulai menginterpretasi dan mengkritisi pada yang terjadi pada tahap pertama. Penjelasan pada tahapan ini akan menimbulkan aksi, reaksi dan interaksi pada apa yang diamati dan tahap ketiga adalah tahap evaluasi di mana pada tahap ini evaluan akan memberikan pertimbangan dan keputusan dari program tersebut. Pertimbangan dan keputusan yang dibuat oleh evaluan didasarkan kepada kritik yang dibuat oleh evaluan sendiri berdasarkan data yang diperoleh pada tahap pertama dan kedua.[23]

2. Model Illuminative
Model ini pada awalnya diperkenalkan oleh Hanley pada 1969, namun dikembangkan lebih lanjut oleh Parlett dan Hamilton pada tulisan mereka yang berjudul Evaluation as illumination: a new approach to study of innovatory programs. Pada akhirnya kedua tokoh ini dikenal sebagai tokoh evaluasi yang melahirkan model illuminatif. Banyak tokoh evaluasi lainnya yang merujuk kepada Parlett dan Hamilton ketika menggunakan model ini di antaranya Stenhouse dan Scrimshaw.[24]
Ada tiga tahapan dan metode dalam mengumpulkan data dengan menggunakan model illuminative yaitu:
1.    Observasi; pada tahap ini evaluan mengobservasi keseluruhan program pendidikan di antaranya tujuan sekolah, metode dalam belajar mengajar, materi yang digunakan, dan teknik evaluasi yang dilakukan guru.
2.    Inkuiri; pada tahap ini evaluan akan memisahkan data penting dan yang tidak penting untuk dianalisa. Pada tahap ini pula evaluan tidak hanya “mengetahui” program itu berjalan tetapi mengapa program itu dapat berjalan. Untuk mencari jawaban tersebut evaluan harus menghabiskan waktunya di lapangan untuk meneliti.
3.    Ekspalanasi; pada tahap ini evaluan tidak saja memberikan pertimbangan dan keputusan pada hasil penelitiannya, tetapi memperkaya data tersebut dengan cara menjelaskan apa yang terjadi dan mengapa itu bisa terjadi.[25]
3. Model Responsive Stake
Model kedua yang dikembangkan oleh Stake untuk mengevaluasi kurikulum adalah model responsive. Model ini merupakan pengembangan lebih lanjut model countenance Stake, meskipun beberapa hal terdapat perbedaan yang prinsipil. Pertama, model countenance mempunyai fokus yang lebih luas dibanding model responsive. Model countenance memberikan perhatian terhadap kurikulum sebagai suatu rencana, dalam model responsive, fokus yang demikian sudah ditinggalkan. Perbedaan kedua ialah dalam pendekatan pengembangan kriteria. Model countenance berdasarkan pengembangan kriteriafidelity, model responsive mengembangkan kriterianya berdasarkan pendekatan proses.
Model responsive tidak berbicara tentang pemakaian instrumen standar, tetapi memberikan perhatian yang besar interaksi antara evaluator dengan pelaksana kurikulum. Tanpa interaksi tidak satupun  “isu” yang dapat diungkapkan. Langkah-langkah kegiatan evaluasi ini meliputi, observasi, merekam hasil wawancara, mengumpulkan data, mengecek pengetahuan awal peserta didik, dan mengembangkan desain atau model.
 4. Model Studi Kasus
Model ini memusatkan perhatiannya kepada kegiatan pengembangan kurikulum di satu satuan pendidikan.Unit tersebut dapat saja berupa satu sekolah, satu kelas bahkan hanya seorang guru atau kepala sekolah.Karakteristik model ini adalah data yang dikumpulkan terutama adalah data kualitatif. Data kualitatif kaya dengan deksripsi dan dianggap lebih memberikan makna dibandingkan data kuantitatif. Data kualitatif dianggap lebih dapat mengungkapkan apa yang terjadi di lapangan. Proses yang direkam tidak dinyatakan dengan angka tetapi dengan ungkapan menggambarkan peristiwa-peristiwa dalam proses sebagai suatu rangkaian berkesinambungan.
Menggunakan model evaluasi studi kasus, tindakan pertama yang harus dilakukan evaluator adalah familirialisasi dirinya terhadap kurikulum yang dikaji. Apabila evaluator belum familiar dengan kurikulum dan satuan pendidikan yang mengembangkannya maka evaluator ini dilarang melakukan evaluasi.Familirialisasi ada dua jenis, pertama familiriaslisasi terhadap kurikulum sebagai ide dan sebagai rencana. Familiarialisasi kedua dilakukan ketika evaluator dilapangan. Evaluator harus menguasai kebiasaan-kebiasaan dalam satuan pendidikan yang dievaluasi.[26]
   
 KESIMPULAN
Definisi evaluasi memiliki pengertian yang berbeda dengan pengukuran dan penilaian. Pengukuran berkaitan dengan angka atau kuantitatif, sedangkan penilaian bersifat kualitatif. Evaluasi adalah kegiatan yang sistematis yang mencakup pengukuran dan penilaian. Evaluasi merupakan tahapan akhir dari penilaian dan pengukuran dan di dalamnya memiliki unsur pertimbangan dan keputusan terhadap suatu program berdasarkan standar atau kriteria yang telah ditetapkan sebelum program tersebut berjalan. Evaluasi kurikulum merupakan kegiatan untuk memberikan pertimbangan dan keputusan terhadap seluruh aktivitas pendidikan di sekolah seperti siswa, guru, model dan metode pengajaran, administrasi, sarana dan prasarana.
Ada dua pendekatan evaluasi kurikulum yaitu pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Model kuantitatif memiliki ciri khas di mana pengumpulan data dengan menggunakan metodologi kuantitatif dan tes sebagai alat pengumpul data. Pendekatan kuantitatif dan tes merupakan pendekatan umum positivistik. Sedangkan model kualitatif yang berangkat dari filsafat fenomenologi memiliki ciri khas yaitu dengan evaluator sebagai instrumen penting dan utama di dalam penelitian.

Daftar Pustaka
Arikunto, Suharsimi dan Cepi Safruddin Abdul Jabar, Evaluasi Program Pendidikan, Jakarta: Bumi Aksara, 2004.
Blaine R. Worthen, James R. Sanders, dan Jody L. Fitzpatrick, Program Evaluation: Alternative Approaches and Practical Guidelines, New York: Longman, 1987.
Hamalik, Oemar. Pengembangan Kurikulum, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007.
Munir, Kurikulum Berbasis Tekhnologi Informasi dan Komunikasi,Bandung: Alfabeta,2008.
Print, Murray. Curriculum Development and Design, Sidney: Allen & Unwin, 1993.
Sudijono, Anas. Pengantar Evaluasi Pendidikan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003.
Sudjana, Djudju. Evaluasi Program Pendidikan Luar Sekolah, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006.
Sukardi, M.  Evaluasi Pendidikan: Prinsip dan Operasionalnya, Jakarta: Bumi Aksara, 2008.
Terence J. Lovat dan David L. Smith, Curriculum: Action on Reflection (Wentworth Falls: Social Science Press, 1993.
Toha, Chabib. Tekhnik Evaluasi Pendidikan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003.
Widoyoko, S. Eko Putra. Evaluasi Program Pembelajaran, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011.
Wirawan, Evaluasi: Teori, Model, Standar, Aplikasi, dan Profesi (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2011.
Yusuf Tayibnapis, Farida. Evaluasi Program, Jakarta: Rineka Cipta, 2000.





[1] M. Sukardi, Evaluasi Pendidikan: Prinsip dan Operasionalnya, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008) ,h. 1
[2] Anas Sudijono, Pengantar Evaluasi Pendidikan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), h. 5
[3] Oemar Hamalik, Pengembangan Kurikulum, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007), h. 253
[4] Chabib Toha, Tekhnik Evaluasi Pendidikan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), 1
[5] Blaine R. Worthen, James R. Sanders, dan Jody L. Fitzpatrick, Program Evaluation: Alternative Approaches and Practical Guidelines (New York: Longman, 1987), h. 5.
[6] Murray Print, Curriculum Development and Design (Sidney: Allen & Unwin, 1993), h. 196.
[7] Terence J. Lovat dan David L. Smith, Curriculum: Action on Reflection (Wentworth Falls: Social Science Press, 1993), h. 160
[8] Fajri Ismail, Model-Model Evaluasi Kurikulum,  (Bandung: Lentera, 2014), Vol 2, h. 4.
[9] Fajri Ismail, Model-Model Evaluasi Kurikulum, h. 7
[10]S. Hamid Hassan, Evaluasi Kurikulum (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012), h. 188.
[11] Fajri Ismail, Model-Model Evaluasi Kurikulum, h. 8.
[12]Farida Yusuf Tayibnapis, Evaluasi Program, Evaluasi Program, (Jakarta: Rineka Cipta, 2000),h. 19.
[13]S. Eko Putra Widoyoko, Evaluasi Program Pembelajaran, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011),
h. 212.
[14] Fajri Ismail, Model-Model Evaluasi Kurikulum, h. 8.
[15] Wirawan, Evaluasi: Teori, Model, Standar, Aplikasi, dan Profesi (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2011), h.93.
[16] Suharsimi Arikunto dan Cepi Safruddin Abdul Jabar, Evaluasi Program Pendidikan, (Jakarta: Bumi Aksara, 2004), 29.
[17]FaridaYusufTayibnapis,EvaluasiProgram,h. 14.                                                                       
[18]Djudju Sudjana, Evaluasi Program Pendidikan Luar Sekolah, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006), h. 55.
[19]Munir, Kurikulum Berbasis Tekhnologi Informasi dan Komunikasi,(Bandung: Alfabeta,2008), h.108
[20]Djudju Sudjana, Evaluasi Program Pendidikan Luar Sekolah , h. 56.
[21] Fajri Ismail, Model-Model Evaluasi Kurikulum, h. 11
[22] Fajri Ismail, Model-Model Evaluasi Kurikulum, h. 11
[23] Fajri Ismail, Model-Model Evaluasi Kurikulum, h. 11
[24] Hamid Hassan, Evaluasi Kurikulum , h. 233.
[25] Fajri Ismail, Model-Model Evaluasi Kurikulum, h. 13.
[26] Hamid Hasan, Evaluasi Kurikulum h. 228-229.

1 komentar:

  1. Tulisan yang bagus, mohon ijin copy tulisan ini ya, karena saat ini sy lagi mengevaluasi kurikulum terima kasih

    BalasHapus